Sejarah olimpiade kuno telah
menorehkan filosofi yang amat dalam tentang olahraga di dunia. Hal ini sangat
diyakini sebagai alat pemersatu bangsa dalam perdamaian dunia yang utuh tanpa
diskriminasi warna kulit, strata, agama, budaya, dan sebagainya.
Filosofi olahraga yang berasal dari
serangkaian kegiatan religi bangsa Yunani, yang ditutup dengan pertandingan
olahraga sebagai puncak persembahannya kepada dewa Zeus.
Dalam sejarah dikisahkan bahwa
peserta lomba harus bertelanjang bulat sebagai bentuk persembahan kesucian di
depan sang Dewa, terlebih ketika Sang Juara Olimpiade pada saat itu mampu
menghentikan peperangan yang sedang bergejolak. Hal ini menjadi suatu pertanda
bahwa olahraga saat itu diyakini sebagai alat perdamaian dan alat pemersatu antar
suku.
Dari kisah tersebut tergores
pesan-pesan yang dalam bahwa olahraga adalah aktivitas yang luar biasa, yang
mampu mengasah dan menguji kemampuan individu dalam sebuah persaingan yang
ketat (excellent), juga sebagai aktivitas kesucian yang mampu
mendamaikan perselisihan demi persahabatan abadi (friendsip dan
respect).
Baron Piere de Coubertin adalah
bangsawan Prancis yang juga sebagai arkeolog, adalah orang yang telah berjasa
menggali kembali nilai-nilai olimpiade ini. Pandangan dan idenya kini menjadi
kegiatan yang mendunia dan impian semua olahragawan.
Tahun 1896 Coubertin menggagas
kembali olimpiade namun dengan sebuah bingkai yang kokoh dalam bentuk piagam
Olimpiade (Olympic charter), agar pelaksanaan pertandingan olahraga tidak
menyimpang dari sejatinya olahraga, yaitu menjunjung tinggi nilai-nilai
Olimpiade yakni respect, excellent dan friendsip.
Sejak tahun itulah Olimpiade modern
yang kita kenal sekarang ini terus bergulir. Tahun 1896 itu, Cobertin sudah
menduga jika kegiatan olahraga tidak diberikan bingkai yang kuat, maka olahraga
akan dijadikan alat tunggangan politik, mencari kekuasaan, mencari dan mengejar
kemenangan semata, perjudian, yang akan berakhir dengan peperangan.
Hingga saat ini sudah lebih dari 100
tahun, ide Coubertin terus bergulir dan semakin berkembang. Seperti dikatakan
di atas bahwa adanya Olympic charter (piagam olimpiade) adalah untuk
mengatur segala organisasi, tindakan dan pelaksanaan gerakan olimpiade (Olympic
movement).
Dalam buku Sport Administration
Manual yang dikeluarkan oleh Komite Olimpiade Internasional (IOC) menyebutkan
bahwa Coubertin pulalah yang menciptakan bendera olimpiade dengan lima
cincinnya (five rings), lagu resmi Olimpiade dan api serta obor Olimpiade.
Sebagaimana peraturan piagam olimpiade tahun 2010, semua pihak atas property
Olimpiade ini secara ekslusif menjadi milik IOC, termasuk tapi tidak terbatas
penggunaannya untuk tujuan-tujuan mendapatkan keuntungan komersial atau
periklanan. IOC dapat melisensikan semua atau sebagian dari haknya dengan
syarat-syarat yang ditentukan oleh Dewan Eksekutif IOC.
Cincin-cincin Olimpiade, secara
resmi disebut simbol Olimpiade, tetapi juga disebut sebagai cincin-cincin
Olimpiade, yang melambangkan kegiatan gerakan Olimpiade dan mewakili persatuan
lima benua dan pertemuan para atlet dari seluruh dunia dalam Olimpiade.
Sedangkan warna-warna dari
cincin-cincin Olimpiade tersebut, secara berturut-turut adalah biru, kuning,
hitam, hijau dan merah. Warna-warna yang dipilih oleh Coubertin ini adalah
warna untuk bendera-bendera negara-negara di dunia, dan bukan warna-warna yang
menunjukan benua-benua di dunia seperti kesalahan selama ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar